Senin, 17 Oktober 2011

PERILAKU KOLEKTIF DAN ANARKIS : SUATU TINJAUAN KRIMINOLOGIS


PERILAKU KOLEKTIF DAN ANARKIS :
SUATU TINJAUAN KRIMINOLOGIS

PENDAHULUAN
            Tindakan anarkis entah itu berupa perusakan, pengeroyokan, pembakaran tersangka, penjarahan dan lain-lain pada dasarnya adalah hasil dari suatu perilaku kolektif (collective behavior). Bila dinamakan perilaku kolektif, bukanlah semata-mata itu merupakan perilaku kelompok melainkan  perilaku khas yang dilakukan  sekelompok orang yang anggotanya pada umumnya tidak saling kenal, bersifat spontan dan mudah cair (dalam arti menghentikan perilakunya).
            Kelompok yang lalu disebut entah itu crowd, craze dan mob itu,  pada dasarnya sama pula secara kondisional  yakni telah mengalami deindividuasi. Deindividuasi tersebut memungkinkan seseorang atau sekelompok orang melakukan tindakan-tindakan destruktif dan sadis di luar rasionalitas individual dari para pelakunya (berkaitan dengan tema ini, penulis banyak dipengaruhi pikiran-pikiran Smelser, 1970).
            Uraian ini pertama-tama bertujuan memberi kontribusi atas permasalahan yang dihadapi kepolisian menghadapi dinamika masyarakat yang terlalu eksplosif akhir-akhir ini. Dalam kaitan itulah tulisan ini mempergunakan perspektif kepolisian dalam melihat fenomena perilaku kelompok ini.

ANARKIS ATAU PASIFIS
            Secara logis sebenarnya  bisa dikatakan, ...
bahwa tindakan anarkis akan menurun drastis bila frekuensi kemunculan perilaku kolektif juga ditekan habis-habisan. Dalam hal ini, yang paling efektif melakukan tekanan itu sebenarnya anggota masyarakat sendiri, dan bukan polisi, mengingat perilaku kolektif bisa muncul dimana saja kapan saja secara tak terduga padahal polisi tidak mungkin berada dimana-mana. Terlebih lagi bila diingat bahwa masyarakat Indonesia termasuk tipe masyarakat yang mudah terbawa atau hanyut dalam perilaku kolektif.
            Cara masyarakat melakukan tekanan itu adalah sebagai berikut: dengan  tidak mudah kehilangan rasionalitas, dan selanjutnya mengadakan penolakan berbasis individual terhadap dorongan itu.
            Terhadap kecenderungan menyambut ajakan perilaku kolektif tersebut, yang masih saja menjadi misteri dari suatu tindak anarkis adalah sebagai berikut: Bila situasi anarkis adalah titik ekstrim dari perilaku kolektif, maka situasi pasifis (situasi aman dan tenang) adalah titik ekstrim lainnya. Bila perilaku a-sosial (perilaku menyimpang dan melanggar) adalah titik ekstrim, maka seharusnyalah perilaku pro-sosial (seperti perilaku menolong tanpa pamrih atau mengorbankan diri untuk orang lain) adalah ekstrim lainnya dari perilaku kolektif. Baik situasi pasifis dan perilaku pro-sosial, dengan demikian, mestinya sama potensialnya untuk muncul dibanding situasi anarkis dan perilaku a-sosial.
            Permasalahannya adalah: mengapa yang selalu muncul adalah situasi anarkis dan perilaku a-sosial? Mengapa pada saat ada seseorang yang menganjurkan untuk anarkis, ternyata tidak ada (atau sedikit sekali) orang yang minimal berkata ”jangan” ? Padahal, di pihak lain, bisa diduga bahwa sebagian kecil atau sebagian besar peserta dari kelompok anarkis itu adalah orang-orang yang juga terdidik, memiliki sopan-santun, datang dari keluarga kelas menengah, menjalankan ibadah agama, telah menikah dan memiliki anak hingga juga menduduki status sosial tertentu di masyarakat.
            Beberapa faktor itu, selama ini,  kita yakini sebagai yang memberdayakan orang untuk menciptakan situasi pasifis dan melakukan tindakan pro-sosial. Nyatanya, untuk konteks Indonesia, hal-hal tersebut tidak ampuh sama sekali dalam menghadapi faktor tekanan kelompok (peer pressure) yang menganjurkan anarki tadi.



KEYAKINAN BERSAMA
            Salahsatu kontributor dari munculnya tindakan anarkis adalah adanya keyakinan/anggapan/perasaan bersama (collective belief). Keyakinan bersama itu bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang cenderung dipersepsi sebagai maling (dan olehkarenanya diyakini “pantas” untuk digebuki) ; atau situasi apa yang mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu diyakini pula untuk ditindaklanjuti dengan tindakan untuk, katakanlah, melawan).
Perasaan tidak aman atau rasa takut pada kejahatan pada umumnya juga diakibatkan oleh diyakininya perasaan bersama tersebut, terlepas dari ada-tidaknya fakta yang mendukung perasaan tadi.
            Media-massa dalam hal ini amat efektif menanamkan citra, persepsi, pengetahuan ataupun pengalaman bersama tadi. Maka, sesuatu yang mulanya kasus individual, setelah disebarluaskan oleh media-massa lalu menjadi pengetahuan publik dan siap untuk disimpan dalam memori seseorang. Memori tersebut pada suatu waktu kelak dapat dijadikan referensi oleh yang bersangkutan dalam memilih model perilaku.
            Perhatikan bahwa, pada awalnya, kecenderungan membakar pelaku kejahatan hingga tewas ditemukan di Cengkareng, Jakarta Barat. Setelah dengan  intens diberitakan di media-massa, secara beruntun fenomena yang sama lalu terjadi di belahan tempat di Jakarta. Dan barulah sekitar setengah tahun kemudian (sekadar untuk memperlihatkan bahwa terdapat penularan)  fenomena ini kemudian ditemukan pula di luar Jakarta.
            Adanya keyakinan bersama (collective belief) tentang  suatu hal tersebut amat sering dibarengi dengan munculnya entah simbol, tradisi, grafiti, idiom/ungkapan khas dan bahkan mitos serta fabel yang bisa diasosiasikan dengan kekerasan dan konflik. Sebagai contoh, mitos tentang “kompleks Siliwangi”, STM Budut”  atau “anak Berlan”.
            Pada dasarnya kemunculan hal-hal seperti simbol, tradisi dan lain-lain itu  mengkonfirmasi bahwa masyarakat setempat mendukung perilaku tertentu, bahkan juga bila diketahui bahwa itu termasuk sebagai perilaku yang menyimpang. Adanya dukungan sosial terhadap suatu penyimpangan, secara relatif,  memang menambah kompleksitas masalah serta, sekaligus, kualitas penanganannya.
            Secara perilaku, dukungan itu bisa juga diartikan sebagai telah munculnya kebiasaan (habit) yang telah mendarah-daging (innate) di kelompok masyarakat itu. Adanya graffiti atau coretan-coretan di gang-gang kampung berbunyi “mobil nyenggol pengemudi benjol”, unjuk rasa yang selalu diiringi kepalan dan teriakan,  atau ungkapan khas Betawi “gue babat lu” adalah contoh-contoh kecil dari begitu eksplisitnya dukungan masyarakat terhadap kekerasan. Pada suatu waktu, hal itu bakal menyumbang besar pada timbulnya anarki.
            Maka, terhadap adanya kecenderungan peningkatan anarki di masyarakat, sadarlah kita bahwa kita berkejaran dengan waktu. Pencegahan anarki perlu dilakukan sebelum tindakan itu tumbuh sebagai kebiasaan baru di masyarakat mengingat telah cukup banyaknya kalangan yang merasakan “asyik”-nya merusak, menjarah, membakar dan lain-lain tanpa dihujat apalagi ditangkap (lihat Meliala  dalam Gamma, 2000).
            Berkaitan dengan ketidaksadaran dari banyak kalangan perihal beroperasinya suatu keyakinan bersama menyusul suatu tindak anarki, adalah kebiasaan kita untuk kemudian menunjuk adanya provokator. Provokator tersebut, secara teoritik, dapat dipersamakan dengan agitator atau insinuator bila hasil kerjanya  berupa munculnya rasa marah dan kemauan berkonflik pada diri orang yang di-agitasi atau di-insinuasi.
Selanjutnya, kerap kita membayangkan bahwa provokator tersebut adalah orang di luar kelompok atau massa (entah yang cair atau terorganisasi) yang mengabarkan cerita buruk dan bohong. Tak cukup dengan itu, dapat pula diimajinasikan bahwa provokator itu melakukannya seraya berbisik-bisik dengan mata curiga  dan berjalan mengendap-endap. Cukup mengherankan bila polisi, sebagai profesional yang seharusnya mengetahui bagaimana perilaku kolektif muncul dan bekerja, juga ikut-ikut mengemukakan hal yang sama.
            Mengenai bayangan itu, diduga kuat tidaklah demikian dalam kenyataannya. Yang  lebih mungkin terjadi adalah bahwa antar anggota kelompok atau massa itu sendirilah yang saling memprovokasi, saling mengagitasi atau saling menginsinuasi satu sama lain agar melakukan tindak anarki. Bila begitu, tak ayal, efeknya akan jauh lebih hebat dan lebih mungkin berhasil.

KELOMPOK TERORGANISIR
            Anarki, sebagaimana telah disinggung di atas,  dilakukan dalam rangka perilaku kolektif oleh massa yang spontan berkumpul dan, sepanjang diupayakan, dapat dengan mudah cair kembali. Dengan demikian, secara kepolisian, memang relatif lebih mudah memecah-belah massa dari tipe ini sepanjang tersedia perkuatan (enforcement) yang cukup.
            Yang jauh lebih merepotkan adalah, bila anarki dilakukan oleh orang-orang dari kelompok tertentu yang terorganisasi, memiliki motif militan dan radikal serta membawa senjata (atau benda-benda lain yang difungsikan sebagai senjata). Pelakunya juga bisa datang dari suatu komunitas yang, katakanlah, telah terinternalisasi dengan nilai dan ide kekerasan sebagaimana disebut di atas dan menjadi radikal karenanya (lihat Meliala, Pembaruan, 2001).
            Maka singkatnya,  anarki pada kelompok cair adalah sesuatu hal yang niscaya, wajar terjadi atau tak terhindarkan. Sedangkan anarki pada kelompok yang terorganisasi adalah efek yang sudah diperhitungkan (calculated effect), yang akibatnya sudah diperhitungkan dalam kaitannya dengan yang lain (systematic effect). Sehingga benar bila dikatakan  efek itu sendirilah yang justru diinginkan untuk terjadi (intended effect). Anarki oleh kelompok terorganisir ini umumnya  terencana, memiliki cukup kekuatan dan jaringan, memiliki motif tertentu dan juga target-target tertentu.
Kekerasan yang muncul kemudian, entah dalam rangka unjuk rasa, pawai atau mogok massal yang seluruhnya berawal secara damai, semakin mengundang media untuk meliput (studentadvantage.com,2001). Kekerasan, yang tidak dikehendaki kemunculannya oleh polisi, kemudian menghadirkan spiralling effect berupa adanya masalah baru, yakni ketika media datang. Hal ini juga kerap terjadi di Indonesia.
Berbeda dengan anarki oleh kelompok cair yang secara teoritik sulit sekali dibendung oleh polisi sejak fase  paling awal, maka  kalau mau, polisi  sebenarnya dapat membendung anarki yang diproduksi oleh kelompok terorganisir dan terencana ini.
            Bila masyarakat sendiri yang perlu mencegah anarki oleh massa spontan, maka hanya polisilah yang mampu (dan diperbolehkan oleh undang-undang) untuk mencegah dan menindak anarki jenis kedua tadi sesuai fungsinya sebagai pemelihara ketertiban umum (public-order policing). Intelijen kepolisian yang kuat tentu dapat mendeteksi niat para perancang unjuk rasa, misalnya, untuk “menabrak” siapapun yang mencegah ulah brutal mereka.

KETIDAKPERCAYAAN PADA HUKUM
            Sering dikatakan, tindakan anarkis itu identik dengan ketidakpercayaan pada polisi. Daripada menyerahkan segala sesuatunya kepada polisi dengan kemungkinan tidak mendapatkan keadilan sebagaimana dipersepsikan, maka lebih baik merekalah yang menjadi polisi, jaksa sekaligus hakimnya.
            Perihal ketidakpercayaan itu, diduga bisa benar namun bisa pula tidak. Dikatakan benar karena, betapapun hendak disangkal, nyatanya ada saja oknum polisi yang menyalahgunakan wewenangnya. Alih-alih melakukan penyidikan dan pemberkasan, yang kemudian terjadi adalah transaksi uang dari tersangka kepada oknum polisi tersebut agar bisa ditahan luar atau bahkan ditangguhkan perkaranya.
Tetapi hal itu bisa pula dikatakan tidak benar, mengingat yang sebenarnya dikeluhkan oleh para anarkis tadi adalah “kinerja hukum pada umumnya yang tidak memenuhi harapan”.
            Ada yang mengatakan “penegak hukum bekerja lambat” ; tetapi bukankah jaksa dan hakim itu bekerja jauh lebih lambat dibanding polisi?. Ada pula yang mengatakan, “tuntutan buat tersangka rendah”; tetapi bukankah menuntut itu bukan pekerjaan polisi?  Atau dikatakan pula, “pelaku akhirnya bisa lenggang-kangkung lagi”; tetapi bukankah memutuskan perkara juga bukan pekerjaan polisi?.
Hanya saja, selaku personifikasi hukum dan elemen terdepan dalam proses penegakkan hukum, polisi memang kerap terpaksa menerima getahnya mengingat polisilah yang secara langsung berurusan dengan tindak anarkis itu dan bukan aparat hukum lainnya.
Juga perlu disebutkan bahwa, terdapat kecenderungan yang semakin menyulitkan kepolisian pada umumnya berkaitan dengan pemeliharaan ketertiban umum. Sebagai contoh, dapat kita lihat apa yang terjadi di Amerika Serikat berkaitan dengan  upaya negara menjunjung terlaksananya hak kebebasan berbicara (dikenal dengan the First Amendment) maka Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan sebagai berikut :

“… citizens must tolerate insulting, and even outrageous, speech in order to provide adequate breathing space to the freedoms protected by the First Amendment.” (Boos v. Barry, 1988 in Schofield, 2001)

            Menghadapi dilemma ntara ketetapan konstitusional dan pelaksanaan teknis di lapangan, menurut Schofield (2001), kepolisian jelas menghadapi kesulitan besar. Sehubungan dengan itu pula, muncul pula keputusan pengadilan, yang secara langsung atau tidak langsung membantu kepolisian, berkaitan dengan keharusan memperoleh ijin sebelum mengadakan kegiatan di wilayah publik, pengaturan terhadap ancaman kekerasan yang mungkin muncul selama unjuk rasa, pelarangan berkaitan dengan suara yang ditimbulkan atau wilayah-wilayah tertentu yang menurut kepolisian dilarang untuk diduduki oleh para demonstran.

ANTISIPASI POLISI           
            Dari sudut yang lain, dapat kita amati bahwa adakalanya anarki tercipta secara kebetulan (by chance) atau kecelakaan (by accident). Singkatnya, terdapat begitu banyak kemungkinan yang bisa melahirkan anarki. Namun yang ingin  disorot di sini adalah peran polisi yang bisa meredam anarki secara lebih meluas atau malah meng-incite atau membakar anarki yang lebih parah.
            Menyadari  proses terjadinya anarki yang amat cepat, maka sebenarnya terdapat fase (yang juga amat singkat) dimana polisi masih bisa melakukan tindakan awal dalam rangka pencegahannya. Lepas dari fase tadi,  kemungkinan besar dinamika massa telah berkembang menjadi sesuatu yang harus ditangani secara keras. Pemanfaatan optimal atas fase yang amat singkat tadi tergantung pada cukup-tidaknya data awal (base data) yang dimiliki polisi setempat berkaitan dengan karakteristik situasi tertentu.
            Masalahnya sekarang, dimana bisa kita temui polisi yang bisa dan mampu meredam atau menindak anarki? Memang, bila anarki telah secara faktual terjadi, maka polisi membutuhkan perkuatan yang seimbang dengan banyaknya massa. Pada saat itu,  ide bahwa “seorang polisi pun sudah terlalu banyak untuk melambangkan hukum yang bekerja”, tidak dapat lagi diterima oleh massa anarkis yang sudah hilang kesadarannya tadi.
            Dalam kaitan itu, cukup wajar bila polisi (dalam hal ini Brigade Mobil) lalu mengikuti prinsip militer yang mementingkan unit, regu, peleton dan aneka fungsi yang diembannya. Tetapi, sebagaimana disebut di atas, terdapat fase-fase awal (sebelum massa berubah anarkis) yang sebenarnya dapat diintervensi oleh polisi. Dan, untuk itu, seorang polisi pun sebenarnya sudah lebih dari cukup.
            Hanya saja, polisi Indonesia nampaknya belum cukup terlatih untuk itu. Sebagai contoh, pelatihan polisi negosiator guna menghadapi unjuk rasa baru diadakan pada tahun 2000 ini. Alhasil, paradigma polisi saat menangani massa, boleh jadi belum berubah banyak. “Resep” menghadirkan pasukan pengendali huru-hara dari kesatuan Brimob atau Dalmas dari KOD setempat , yang bertameng dan memakai rotan, masih dianggap sebagai obat manjur.
Padahal, dalam kenyataan, kehadiran pasukan pengendali huru-hara yang terlalu pagi, malah bisa mempercepat lajunya proses menuju anarki. Atau seperti disebutkan dalam media-massa Amerika Serikat “…when people see batons, raised, riot gear and mounted police clearing an area, a tense situation becomes a violent one.” (studentadvantage.com, 2001)
            Secara teori, penggunaan polisi paramiliter seperti Brimob dalam rangka menghadapi aksi massa memang tidak sepenuhnya tepat. Teori pemolisian paramiliteristik memperlihatkan adanya  kegiatan pemolisian oleh orang-orang yang tidak memiliki basis hubungan apapun dengan kalangan yang menjadi obyek kerjanya (Bull & Stratta, 1995). Kegiatan yang dilakukan pun berbentuk standar dan umum, dalam arti cenderung dikenakan pada semua kalangan. Akibatnya, amat mungkin terjadi krisis legitimasi terhadap polisi yang lalu cenderung menimbulkan penolakan dan bahkan perlawanan dari masyarakat yang menjadi obyek kerjanya.
            Selain itu, diyakini pula bahwa memang tidak cukup banyak personil polisi yang siap (atau terbiasa) dengan pendeteksian perilaku massa di tempat tugas masing-masing. Kesiapan atau keterbiasaan menghadapi saat-saat awal massa mulai terbentuk, mungkin lebih tinggi bila seorang polisi bertugas di kota besar. Masalahnya, pengalaman memperlihatkan, kerusuhan bisa terjadi dimana saja; entah di desa atau di kota.
            Terdapat juga hambatan lain  dari masyarakat pada umumnya yang (walaupun belum hilang kesadarannya dalam jiwa massa tadi) boleh jadi tetap mengembangkan prasangka negatif kepada polisi sehingga tidak mau mengikuti perintah polisi untuk, katakanlah, bubar.
Disamping itu, “rekan samping” polisi, yakni TNI, pada level personal diduga kuat tidak kondusif (apalagi membantu) terhadap upaya-upaya polisi menghentikan kemungkinan anarki atau anarki itu sendiri bila telah terjadi.
            Adakah kecenderungan enggan membantu itu, salahsatunya, diakibatkan oleh peran oknum TNI sendiri dalam suatu tindak anarki?


======================

 

 




Bacaan


Bull, D. & Stratta, E., 1995, Police-community consultative
committees: a response to paramilitary policing”, ANZJS, vol.
31(3), November
Meliala, Adrianus, “Angkatan Perusuh, Gamma 8-14 November 2000
Meliala, Adrianus, “Orang-orang Radikal, Suara Pembaruan, 2
            Januari 2001
Schofield, 2001, “Controlling Public Protest: First Amendment Implications”,
http://www.prop1.org/legal/prisons/1amen.htm
Smelser, Neil J., The Theory of Collective Behavior, London:
Routledge & Keegan Paul Publishing,1970
http://www.studentadvantage.com/article/0,1075,c8-i79-t0-a103017,00.html

Pendidik Harus Antisipasi Tawuran Pelajar

Jakarta,SENTANAonline.com
H.BAMBANG SUGIONO dalam acara halal bi halal dengan guru sejakut kamis[22/9], menghimbau mengantisipasi tawuran yang sedang tren, " jangan sampai seperti di tempat lain, karena apabila ini terjadi akan merugikan semua pihak.Apalagi anak – anak pelajar merupakan harapan masa depan bangsa. Oleh sebab itu, ''kita semua harus bisa menjaga.jangan sampai anak didik terpancing oleh asutan pelajar dari luar wilayah jakut,''pungkasnya.
Acara dihadiri  Wakadis pendidikan Prop DKI. Agus Suradika, serta kepala sekolah mulai dari tingkat TK, SD dan SMP baik swasta maupun negeri Se - Jakarta Utara, Kamis (22/9).Agus suradika, mengatakan, " agar setiap kepala sekolah dan  pengajar,  lebih waspada dengan situasi serta lingkungan melihat saat ini sering  terjadi Tawuran antar siswa. Dia menambahkan, ''agar seluruh kepala sekolah dan pengajar, menambahkan kreativitas anak didiknya,''pungkasnya.
Sementara Tri Kurniadi seko jakut himbauan pada kepsek/guru untuk mewaspadai banjir dan penyakit DBD biasanya menjelang musim hujan meningkat,yang ikut menghadiri acara Halal Bi halal yang diadakan oleh Suku Dinas Pendidikan Dasar Jakarta Utara yang dilangsungkan di Jakarta Islamic Centre Kel.Tugu Utara Kec.Koja.

Ditambahkan Tri, semuanya agar menyikapi situasi dan kondisi lingkungan dengan positip, “Mudah – mudahan Jakarta Utara tidak akan terdengar adanya siswanya yang tawuran” jelasnya. Selain itu setko juga berharap pada semua kepala sekolah dan pengajar, agar terus mensosialisasikan program unggulan pemerintah Kota Administrasi Jakarta Utara tentang Jalur 12 Destynasi wisata pesisir pada siswa/i.(TAR)

http://sentanaonline.com/detail_news/main/4006/1/23/09/2011/Pendidik-Harus-Antisipasi-Tawuran-Pelajar

Hasyim Muzadi Minta Pelajar Tidak Anarkis

15 Mar 2011 20:22:10| Pendidikan/Pesantren | Dibaca 99 kali | Penulis : Supervisor
Hasyim Muzadi Minta Pelajar Tidak Anarkis
Tangerang - Mantan Ketua Umum PBNU KHA Hasyim Muzadi meminta para pelajar untuk tidak mudah tersulut dengan tindakan anarkis.

Ia mengemukakan hal itu dalam Istighasah Kebangsaan yang digelar Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) dan Pimpinan Cabang IPNU di Masjid Raya Al Ahdzom, Tangerang, Selasa.

"Saya mengimbau anak-anak pelajar agar anda semua berpegang pada akhlak al karimah dan mengembangkan nilai toleransi," katanya.

Sekretaris Jenderal ICIS (International Conference of Islamic Scholars) itu berharap pelajat tidak mudah tersulut oleh tindakan anarkis yang mengatasnamakan agama, sebab hal itu akan mengancam kerukunan dan kebhinnekaan.

"Mayoritas generasi muda saat ini telah mengalami krisis moral, sehingga memunculkan berbagai perilaku anarkis seperti tawuran dan mudah diinjeksi oleh pemahaman keislaman garis keras yang tidak sesuai dengan Ahlussunnah Wal Jamaah," katanya.

Untuk menjadi generasi unggul, pelajar seharusnya rajin mengasah pikiran, emosi dan spiritualnya agar mampu bersikap arif terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi.

Sementara itu, Ketua Umum PP IPNU, Ahmad Syauqi, mengatakan, selain mendoakan keselamatan bangsa dan negara, istighasah dan dzikir pelajar itu menjadi sarana kontemplasi pelajar dalam bersikap dan bertindak agar meneladani moral Rasulullah.

"Akhir-akhir ini bangsa dan negara kita sedang mendapatkan cobaan dan ujian berat. Selain banyaknya bencana alam, secara sosial masyarakat kita telah mengalami beragam konflik horisontal, terutama sentimen keagamaan," katanya.

Oleh karena itu, katanya, istighasah ini juga dijadikan momentum untuk menyadarkan para pelajar dari pemahaman keagamaan yang tidak ramah terhadap realitas kemasyarakatan.

"Kami sengaja memilih acara istighasah sebagai upaya untuk menjaga tradisi NU dan sekaligus memberikan penyegaran spiritual bagi pelajar agar mereka terbentengi dari sikap-sikap radikalistik atas nama agama yang kerap memicu kekerasan," katanya.


 

Anarkisme Dibalik Bangku Sekolah


Oleh Ir. Bambang Sukmadji
Nampaknya bukan hanya terhadap sepak terjang teroris, miras oplosan,  pemalsuan tabung gas 3 kg, atau tindak pidana lainnya, Polri harus sigap menertibkan tindak amoralitas masyarakat tersebut di atas. Tetapi sejak memasuki pertengahan Bula Juli ini, tepat dimulainya tahun Pembelajaran Baru 2010/2011, Polripun harus segera mensiagakan terhadap pola sikap khususnya pelajar yang anarkis.  yang berbentuk tawuran antara kelompok atau lembaga pendidikan, yang terkategori bukan lagi sebuah kenakalan remaja, melainkan sudah menjurus tindak kriminal. Terbukti dengan sering jatuhnya korban luka serius bahkan meregang nyawa akibat tawuran tersebut.
Kesiagaan aparat keamanan, orang tua/wali dan segenap pendidik  untuk mengatasi amoralias pelajar/mahasiswa ini adalah sesuatu yang mutlak dan emergency, apabila kita mencermati angka tawuran pelajar di DKI Jakarta yang masih cukup tinggi. Berdasarkan data Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta, pelajar SD, SMP, dan SMA, yang terlibat tawuran mencapai 0,08 persen atau sekitar 1.318 siswa dari total 1.647.835 siswa di DKI Jakarta. Bahkan, 26 siswa diantaranya meninggal dunia.
Namun betapa kita tidak prihatin, jika tawuran ini juga dilakukan oleh mahasiswa sebagai “masyarakat intelek” yang diharapkan mampu menjadi tumpuan bangsa dan Negara, juga mengikuti perilaku amoralitas adik-adiknya pelajar sekolah lanjutan, seperti misalnya   tawuran yang terjadi   pada Kamis, 18 Pebruari 2010, sepeti yang    dilaporkan  ANTARA bahwa tawuran telah digelar oleh mahasiswa Fakultas Tehnik  berhadapan dengan mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin.  Tidak kepalang tanggung tawuran tersebut digelar di kampus universitas tersebut. Akibat kebrutyalan tersebut dilaporkan bahwa 3 mahasiswa menderita luka-luka.
Menyusul kemudian kasus tawuran mahasiswa Fakultas Teknik dan Fisipol Universitas Tanjungpura yang terjadi 13 Maret 2010 lalu, adalah salah satu potret bahwa tawuran sudah menjadi tradisi dikalangan dunia pendidikan di Indonesia. Sebagai tradisi yang terefleksi akibat pergeseran nilai yang mendera Bangsa Indonesia.
Sigit Suryawan dalam Tinjauan Sosiologis dan Politis terhadap Perkelahian Remaja /Pelajar  (2010) menjelaskan bahwa perkelahian pelajar bukanlah fenomena baru di beberapa kota besar di Indonesia, khususnya Jakarta, karena peristiwa tersebut sudah berlangsung cukup lama dan secara sporadis terjadi di beberapa wilayah seolah tiada hentinya (contohnya kawasan jalan Cempaka Putih dan Jalan Raya Bogor). Perkelahian pelajar walaupun secara fisik dilakukan oleh anak-anak (remaja), namun secara kualitas sudah bisa disebut sebagai tindakan kriminal, seperti layaknya dilakukan oleh orang-orang dewasa. Efek kerusakan yang ditimbulkan tidak jarang menimbulkan kerugian yang cukup besar, baik kerugian yang bersifat fisik berupa bangunan, maupun jatuhnya korban luka-luka maupun korban jiwa yang menimpa pihak-pihak yang berkelahi.
Dengan fitur sikap mental yang sudah kelewat batas tersebut maka masalah ini bukan lagi masalah insitusi sekolah/kampus yang berkaitan dengan remaja/pelajar pelaku tawuran ataupun bukan lagi sangsi pedagogis yang harus diterapkan, melainkan keterlibatan setiap unsur yang mendukung perkembangan pribadi individu remaja.  Wacana tersebut di atas sesuai dengan konsep pendidikan remaja Driyarkara, yang menyatakan bahwa sebaiknya pendidikan untuk remaja tidak dilepaskan begitu saja dari sistim sosial yang melingkunginya.
Lantas faktor apa yang mendominasi latar belakang mereka hingga harus bersikap sok jagoan dalam rasa kesetiakawanan yang konyol. Salah satu alasan yang logis dalam hal ini, adalah memang potensi psichologis yang sering mencoba untuk membuktikan sendiri argument ego tentang segala sesuatu. Lantaran dinamisasi perasaan nilah yang membuat mereka kerak kali bertindak tanpa berpikir panjang, meskipun semua resiko perbuatannya itu telah terinternalisasi dalam benaknya. Gejala inilah yang disebut sebagai gejala pemikiran “formal-operasional” menurut Jean Piget, seorang psikolog  ahli psikhologi perkembangan.
Oleh karena itu sebenarnya bagi mereka cukup di beri pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi dirinya sendiri. Bahkan Philomena Aqudo mengungkapkan bahwa kaum muda jangan diberikan tantangan yang terlalu berat karena hal itu justru dapat merusak disiplin diri. Sebaliknya, perhatikan dan kembangkan kompetensi tiap pribadi. Dengan begitu, ia akan dapat mengembangkan dirinya dalam kegiatan yang positif; ia tidak sempat ikut tawuran.
Apabila mereka tidak mendapatkan porsi pembelajaran yang representatif , dikhawatirkan munculnya gejala  penyimpangan yang dibawanya hingga mereka menjadi mahasiswa kelak. Tidak khayal lagi porsi mahasiswa sebagai “agent of change” telah luntur berganti dengan predikat sumber tinda anarkis. Padahal dalam decade tertentu mereka sempat diagungkan oleh masyarakat lantaran sanggup menumbangkan Rezim Soekarno, dengan atribut KAMI dan KAPI serta membuat  Soeharto tak berdaya, lantaran aksi mereka yang mengepung Gedung DPR dan MPR Th 1977 silam.
Baik Pelajar dan Mahasiswa adalah generasi muda yang mengenyam jaman keemasan, lantaran mereka terlahir dari keluarga yang ber-KB , dengan rata-rata jumlah anak 2. Sehingga masalah biaya pendidikan dan fasilitas lainnya relative lebih terpenuhi ketimbang generasi sebelumnya yang hidup di tengah revolusi fisik,  perseteruan ideologi yag berakibat keterbatasan segala sesuatu. Generasi yang hidup nyaman ini sudah barang tentu menjadi generasi yang rapuh,  “generasi mi-instant “ yang nota bene menginginkan segala sesuatu yang cepat saji dan sama sekali tidak memiliki “struggle against life”. Apalagi mereka harus hidup di tengah berbagai katabelece yang menjadi bagian hidup para oknum pejabat Negara. Sehingga meeka sama sekali tidak mampu melanggengkan fungsi agen perubahan tersebut.
Filosofi merekapun lebih memfokuskan kepada formalitas gelar kesarjanaan dengan selembar ijazah sarjananya ketimbang menuntut ilmu demi bekal kompetensi yang mampu membuat mereka memiliki identitas formal di masyarakat. Akbat gejala gejala seperti inilah timbul gejolak jiwa yang hanya bisa disalurkan dengan anarkisme.
Membentuk mentalitas generasi muda anarkis tersebut tidak dengan serta merta hanya menerapkan aspek jera saja, dengan pengetatan fisik, jadwal kegiatan institusional yang padat, up-grading lembaga khusus untuk rehabitasi. Tetapi yang lebih penting lagi adalah keteladanan kita semua yang menjadi penunjuk arah mereka semua. Semua tindak amoralitas yang ada di muka Bumi Indonesia haruslah dibumikan dengan supremasi hukum yang membahana, tajam, akurat dan berwibawa (Dari berbagai sumber).
Ir. Bambang Sukmadji Guru MA Futuhiyyah 1. Mranggen. Demak JATENG.

http://www.ummatonline.net/anarkisme-dibalik-bangku-sekolah

1 komentar: