Minggu, 20 Maret 2011

Membangun Jati Diri Masyarakat Menuju Moralitas Bangsa


Nama         : IKA EFIANA FARIDA
TTL           : Ponorogo, 31 Maret 1994
Alamat        : Jl. Ahmad Yani Ponorogo
Sekolah       : MA Mualimat
Judul            : Membangun Jati Diri Masyarakat Menuju Moralitas Bangsa
Karya dipresentasikan dalam Orasi Ilmiah Propinsi Jawa Timur

Sudah diketahui bahwa di bangsa kita sangat miris moralnya. Entah dari faktor mana datangnya, karena terdapat banyak faktor yang membuat moral di bangsa kita miris, diantaranya: kurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya, pengaruh dari luar dan juga pengaruh dari dalam. Menurut Durkheim “zaman yang kritis ini menimbulkan kegelisahan Durkheim. (emile Durkheim, 1990: x). Memang benar apa yang dikatakan Durkheim, bukan hanya Durkheim saja yang gelisah, tapi semua warga dan orang tua maupun guru juga gelisah. Apa mungkin dari majunya IPTEK? Tapi kenapa kemajuan IPTEK kok malah merusak moral mereka? Bukankah kita harus bangga bahwa negara ita sudah maju IPTEK nya? Mungkin mereka menyalahgunakan IPTEK yang telah berkembang maju.
Sekarang ini banyak sekali ditemukan anak-anak khususnya remaja yang berani terhadap orang tua, yang tidak punya sopan santun dan etika dan banyak sekalilah pokoknya. Begitu juga di sekolah, banyak di antaranya pelajar SMA bolos sekolah. Bukankah ini fakta bahwa moral-moral mereka miris. Sebenarnya apa sih moral itu? Moral terbentuk dari tiga unsur, yaitu:
Disiplin
Disiplin dibentuk oleh tingkah laku dan wewenang. Tetapi disiplin tidak dipandang paksaan semata. Karena ada dua alasan, pertama; ia memberi respon terhadap kita yang pantas yang membebaskan kita dari keharusan setiap saat menyusun cara pemecahan. Kedua; ia memberikan jawaban akan pengetahuan, yang mungkin membuat mencapai tujuannya secara berturut-turut.
Masyarakat
Disiplin adalah masyarakat yang dianggap sebagai ayah yang memerintah kita dan yang mendorong kita melakukan kewajiban dan masyarakat adalah sebagai ibu, citra kebaikannya yang menarik hati kita.
Otonomi
Jika perilaku demi kepentingan diri sendiri harus dianggap sebagai amoral, demikian juga sebaliknya. Padahal Durkheim sudah sangat menekankan sifat memaksa dari unsur moralitas disiplin dan komitmen kepada kelompok. (Emile Durkehim, 1990: xi). Jadi pengertian terhadap moralitas meningkatkan otonomi. Suatu otonomi mutlak diperlukan suatu ilmu tentang moralitas ini menunjukkan inti konsepsi mengenai masyarakat dan hakekat sosiologi.
Bangsa Indonesia yang miris moralnya ini disebabkan oleh faktor dari luar dan dalam. Sebab dari dalam yaitu pertama dari keluarga, orang tua kita bekerja dengan keras, mungkin menurut pemikiran mereka anaknya akan pandai dengan sendirinya dan akan terbentuk moral yang baik terdap anaknya. Padahal itu salah, sangat salah, apakah pemikiran orang tua mereka hanya pada pekerjaan sehingga membuat lupa terhadap anaknya. Anak yang seharusnya dididik mereka lupakan hanya untuk sebuah pekerjaan.
Kedua, sebab dari luar yaitu sekolah. Guru sebagai agen masyarakat, yang mempunyai tugas menciptakan suatu makhluk sosial, suatu makhluk sosial yang bermoral, masyarakat yang sesuai dengan cita-cita masyarakat itu sendiri. Tapi kenapa banyak anak sekolah yang tak bermoral? Apakah guru kurang mendidik? Padahal guru adalah orang tua kedua, apakah mereka hanya mengajar dan mengharapkan gaji saja? Apa mereka mau makan gaji buta? Ataukah dari anaknya sendiri yang sulit diatur? Hanya bila ia sadar akan keterlibatannya dalam suatu masyarakat terhadap mana ia diikat oleh kewajiban dan keinginan, maka ia dapat menjadi seorang makhluk yang bermoral. Singkatnya, individu yang berlebihan dalam pendidikan dapat mengakibatkan kegagalan pribadi dan kekacauan sosial. Pendidikan moral merupakan penangkal terhadap penyakit-penyakit seperti itu.
Ketiga, dari lingkungan sekitar. Lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap pembentukan moral. Moral yang jelek itu diciptakan oleh lingkungan sekitar yang jelek. Begitu juga sebailknya. Apakah pemerintah akan diam terhadap lingkungan masyarakat yang jelek? Pemerintah seharusnya memerhatikan masyarakat-masyarakatnya dan membelajari atau memberi contoh untuk berbuat moral yang baik. Apakah mereka akan sama dengan guru yang akan meraih gaji saja atau mereka akan korupsi dan melupakan rakyatnya? Mencontohkan moral yang tidak baik kepada rakyatnya. Jeleknya pemerintah, mereka hanya mengandalkan pangkat padahal pangkat atau derajat itu tidak dibawa mati bukan?
Keempat, dari perkembangan teknologi. Teknologi yang berkembang pesat harus dibanggakan, tapi kenapa malah membuat masyarakat resah? Perkembangan teknologi kalau diambil manfaatnya itu sangat banyak manfaatnya. Begitu juga sebaliknya, banyak madharat yang kita dapat juga, apabila kita menyalahgunakannya. Mengapa banyak sekali anak-anak zaman sekarang yang mengambil hal negatif, contohnya di internet? Seharusnya di situ jangan ada situs negatif tentang porno atau yang lainnya. Karena nanti akan merusak moral bangsa kita.
Dari uraian di atas, dirumuskan beberapa masalah diantaranya adalah; apa yang perlu diperbuat Indonesia dalam mengurai benang kusut pendidikan? Apa masalah utama dalam perencanaan dan pengembangan kurikulum pendidikan? Kemampuan dan sikap apakah yang perlu dikuasai peserta didik setelah menyelesaikan pendidikan dasar agar dapat hidup dalam masyarakat? Pengetahuan dan ketrampilan apakah yang harus dikuasai oleh peserta didik setelah menyelesaikan pendidikan dasar agar dapat hidup dalam masyarakat? Mengapa kurikulum Indonesia cenderung lebih sarat dari pada umumnya kurikulum di negara maju? Bagaimana karakter dari kurikulum yang relevan dengan fungsi lemaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan yang seharusnya? Apa yang membuat lemah pendidikan di Indonesia?
Yang perlu dilakukan Indonesia yaitu membangun empat kekuatan dunia. Yang perlu dicermati pendidikan nasional diantaranya:
Kerjasama regional dan internasional
Mungkin dengan adanya kerjasama itu dapat meningkatkan benang kusut pendidikan. Pendidikan yang sangat melemah dan sangat memprihatinkan
Demokrasi dan semakin meningkatnya kesadaran akan Hak Asasi Manusia serta pemberdayaan masyarakat (social empowerement).
Sikap demokrasi sangatlah diperlukan untuk membangun kesadaran akan Hak Asasi Manusia. Seharusnya pemerintah beserta yang lainnya melindungi HAM dengan baik, sehingga orang-orang akan sadar kalau sebenarnya Hak Asasi Manusia mereka dijaga dan itu akan menumbuhkan kesadaran terhadap haknya sendiri.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat membantu mengurangi kusutnya benang pendidikan. Sesungguhnya apabila IPTEK ini digunakan sebaik-baiknya akan membuat negara kita lebih baik dari sebelumnya, bukan hanya hal negatifnya saja yang diambil. IPTEK sangat berpengaruh bagi pendidikan, jadi gunakan IPTEK sebaik-baiknya dan hal-hal yang positif.
Identitas bangsa dan internasionalisme
Dari keempat kekuatan tersebut saya berharap menawarkan visi dan misi dan disusunnya program aksi untuk mengubah pendidikan nasional di Indonesia. Saya menekankan kembali dan memberikan rumusan dan lebih terarah sesuai dengan perkembangan kehidupan politik dan sosial budaya dalam era reformasi, yaitu
Pendidikan harus jelas arahnya
Tujuan pendidikan kita memang sangat ngambang artinya tidak jelas tujuannya apa yang akan kita capai pada frame waktu
Masalah wajib belajar Pendidikan Dasar
Seperti yang telah dijelaskan bahwa pendidikan dasar merupakan syarat mutlak bagi hidupnya demokrasi dan penanggulangan kemiskinan. Wajib belajar 9 tahun yang sudah lama diprogram tidak pernah tuntas oleh sebab misalnya tidak diketahui siapa yang akan bertanggung jawab.
Pengembangan program latihan
Di dalam suatu knowledge society dari masyarakat industri serta kemajuan teknologi yang sangat pesat, penguasaan ketrampilan juga berubah dengan sangat cepatnya.
Masalah utama dalam perencanaan dan pengembangan kurikulum adalah sampai seberapa jauh program kurikulum yang dirancang benar-benar dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan sebagai wujud dari peranan lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan dan sampai seberapa jauh materi pelajaran yang dirancang sebagai obyek belajar benar-benar dapat memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang intensif sehingga dapat menjadi wahana transformasi atau proses sosialisasi dari pembudayaan berbagai kemampuan nilai dan sikap.
Dengan mempelajari World Declaration on Education for All tahun 1990 kita dapat dibantu untuk memberi isi kepada pertanyaan yang berkaitan dengan “Karakteristik manusia terdidik yang dapat hidup dalam masyarakatnya” yaitu
Dapat bertahan hidup (survive)
Memeroleh pekerjaan dan kehidupan yang bermartabat
Dapat berpartisipasi secara aktif dalam masyarakatnya
Dapat mengambil keputusan yang berdasarkan informasi
Menurut saya latar belakangnya adalah karena cara pandang para penentu kebijakan tentang makna pendidikan sekolah dan peranan mata pelajaran. Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Karena itu adalah syah legitimate apabila penyusunan kurikulum mulai benar-benar berangkat dari pandangan tentang lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan kemampuan, nilai dan sikap dan mendudukkan disiplin ilmu pengetahuan dan masalah kehidupan sebagai wahana bagi terjadinya proses pembudayaan kemampuan (kemampuan intelektual, kemampuan moral, politik, moral, sosial, moral kebangsaan, moral ekonomi) yang selama ini masih berada pada taraf cita-cita dan belum menjadi kenyataan.
Untuk itu berbagai pendekatan pendidikan seperti empat pilar belajar yaitu: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together dari delore dan tiga prinsip relevansi belajar seperti epistemological relevance, psychological relevance dan moral and social relevance harus benar-benar diterapkan.
Kurikulum yang relvan dengan fungsi lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan seharusnya memenuhi karakteristik sebagai berikut:
Memiliki rumusan tujuan pendidikan pada tingkat kelembagaan yang menggambarkan secara jelas dan dapat diukur kemampuan, sikap, pengetahuan dan ketrampilan dari setiap peserta didik yang dinyatakan lulus, sehingga dapat dijadikan tolok ukur atau landasan bagi standar nasional.
Memiliki struktur program kurikulum yang tidak terlalu sarat muatan yang secara keseluruhan dan secara fungsional tangguh dalam menunjang tercapainya tujuan pendidikan baik pada tingkat institusional maupun nasional.
Garis program pengajaran bermuatan pokok bahasan (teori, konsep, generalisasi, hukum dan atau wilayah kehidupan) yang esensial, fundamental, dan fungsional bagi dapat terjadinya proses pembelajaran yang intensif dan mendalam dengan menerapkan berbagai pilar belajar dan asas relevansi proses belajar sehingga dapat menjadi proses pembudayaan kemampuan, nilai dan moral.
Sembilan titik lemah di Indonesia ini menunjukkan cara penanggulangan atau dugaan adanya kesalahan arah proses pendidikan diantaranya:
Keberhasilan pendidikan hanya diukur dari keunggulan ranah kognitif dan nyaris tidak mengukur ranah efektif serta ranah psikomotor sehingga pembinaan watak dan busi pekerti terabaikan.
Evaluasi pendidikan terutama pengajaran di tingkat Sekolah Dasar (SD), SLTP, SMU/SMK/MA/ sederajatnya mungkin juga di perguruan tinggi cenderung memakai instrumen yang menyampingkan pola berpikir convergen, akibatnya siswa tidak dipacu berpikir kreatif, imajinatif dan inovatif. Sebaliknya mereka malah menjadi obyek didik bukan pelaku aktif.
Proses pendidikan berubah menjadi proses pengajaran sehingga materi pelajaran menjadi materi yag tidak terasa relevan dengan kenyataan. Salah satunya adalah terjadinya kesenjangan dunia sekolah dan dunia kerja.
Kemampuan menguasai pengetahuan tidak disertai dengan pembinaan kegemaran belajar. Akibatnya adalah lembaga pendidikan menjadi lembaga elit yang jauh dan asing bagi kehidupan dan keperluan sehari-hari.
Titel dan gelas menjadi target pendidikan yang tidak disertai dengan tanggung jawab ilmiah yang mumpuni sehingga terjadi “pengejaran titel” yang tidak sehat. Kultur lembaga pendidikan menjadi kultur seremonial dan sangat bernuansa status.
Materi pendidikan dan buku-buku pelajaran ditulis dengan cara dan metode yang miskin aka upaya-upaya untuk menyeimbangkan faktor praktek dan teori, faktor ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta iman dan taqwa (IMTAQ), faktor lembaga pendidikan dan dunia kerja, faktor menjawab benar salah dan menjawab dengan membuka kemungkinan jawaban variatif.
Manajemen pendidikan yang menekankan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah dan bukan kepada seluruh “stake holder” pendidikan seperti masyarakat, orang tua, guru dan siswa itu sendiri.
Profesi guru yang terkesan menjadi profesi ilmiah saja dan kurang disertai dengan bobot profesi kemanusiaan sehingga hubungan guru dan murid terkesan sebagai hubungan produsen dan konsumen. Hal ini diperoleh dengan kedudukan profesi guru yang secara finansial berada pada profesi papan baah.
Semuanya ini diikuti dengan problem nasional yang multi dimensional yang melemahkan upaya pemerataan pendidikan yang kurang didukung oleh saraa serta prasarana yang memadai, serta lemahnya political will pemerintah yang menempatkan anggaran dan isu pendidikan sehingga berada pada papan bawah.
Ukuran keberhasilan atau sukses pendidikan selama ini selalu ditekankan pada aspek kuantitatif (angka-angka), seperti pencapaian Nilai Ebtanas Murni (NEM), nilai rapor, perolehan kursi perguruan tiggi negeri dan sebagainya. Padahal tolok ukur keberhasilan pendidikan tidak hanya menyangkut aspek afektif dan psikomotorik. Sehingga watak atau karakter anak, keimanan kepada Tuhan, sopan santun, akhlak, budi pekerti luhur dimasukkan dalam kriteria di samping nilai akademis yang baik.
Paradigma terakhir ini yang seharusnya dijadikan acuan dalam menilai keberhasilan proses pendidikan sehingga tidak hanya terjadi transfer value dan skill. Mengacu pada paradigma tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama yang harus diemban secara berkesinambungan dan terencana dalam mengubah perilaku anak ke arah yang lebih baik dan dewasa. Paradigma pendidikan tersebut yang pada hakekatnya merupakan tujuan pembangunan pendidikan Indonesia harus dijadikan paradigma dalam membangun dunia pendidikan pendidikan. Pemikiran bahwa keberhasilan pendidikan hanya dapat dilihat sebatas angka-angka (hasil) harus memulai mengalami transformasi ke arah “proses”. Hal ini sangat sejalan dengan semangat reformasi total yang selama ini begitu gencar dan marak disuarakan perbaikan sistem evaluasi pendidikan. Diperlukan juga keseimbangan antara praktek dan teori dalam pembelajaran sehingga peserta didik mampu mengapresiasi ilmu yang diperolehnya dan menemukan relevansi ilmu tersebut dengan kehidupan sehari-hari. Pemerataan kesempatan belajar dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai jika pemerintah merencanakan wajar (wajib belajar) sembilan atau mungkin12 tahun. Akan tetapi secara rasio antara sekolah dasar dengan sekolah lanjutan pertama saja perbandingannya sudah sangat jauh, maka kita kecil sekali berharap bahwa program tersebut dapat berjalan dengan baik.
Sebagai sebuah sistem, pendidikan tidak bisa diperbaiki hanya sebagain dan mengabaikan bagian lainnya. Terpusatnya perhatian terhadap persoalan kurikulum berbasis kompetensi yang sedang gencar-gencarnya disuarakan oleh pusat kurikulum jangan sampai melupakan titik lemah lain pendidikan. Profesi penghargaan guru juga perlu ditegakkan karena dengan meningkatkan tingkat kesejahteraan guru serta peningkatan profesionalisme melalui berbagai pelatihan dan kesempatan melanjutkan pendidikan, dari guru perlu dibentuknya akhlak atau nilai seorang didik yaitu:
Sebelumnya apa sih MORAL, ETIKA, dan ETIKET? 3 kata ini sangat berkaitan dengan pendidikan moral. Moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara eksplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu. Tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai keabsolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh, penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan tingkah laku atau ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebailknya. Moral adalah produk dari budaya dan agama. Moral juga diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, nasehat dan lain-lain.
Selain moral, ada juga etika yaitu:
 Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)
Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dan selain moal dan etika ada etiket yang dalam kamus Bahasa Indonesia diberikan beberapa arti dari kata “etiket” yaitu:
Etiket (Belanda): secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang-barang (dagang0 yang bertuliskan nama, isi dan sebagainya tentang barang itu.
Etiket (Perancis): adat sopa santun atau tata krama yang perlu dan selalu diperhatikan dalam pergaulan agar hubungan selalu baik
K Bertens dalam bukunya yang berjudul “ETIKA” (2000) memberikan 4 macam perbedaan etiket dan etika yaitu:
Etiket menyangkut cara (tata cara) suatu perbuatan harus dilakukan manusia dan etika menyangkut cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi norma dari perbuatan itu sendiri.
Etiket hanya berlaku dalam situasi di mana kita tidak seorang diri (ada orang lain di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku dan etika selalu berlaku, baik kita sedang sendiri atau bersama orang lain.
Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Sedangkan etika bersifat absolut.
Etiket memandang manusia dari lahiriah saja, orang yang berpegang pada etiket bisa juga bersifat munafik, sedangkan etika memandang manusia dari segi alam. Orang yang etis tidak mungkin bersifat munafik, sebab orang yang bersikap etis pasti orang yang sungguh-sungguh baik.
Kita sudah mengerti apa itu moral, etika, dan etiket. Sekarang kita akan mempelajari keterkaitan pendidikan moral pada kelompok sosial. Keterkaitan individu dengan kelompok di mana ia menjadi anggotanya, sekarang kita akan meninjau apakah di antara berbagai kelompok di mana kita menjadi anggota terdapat suatu hirarki. Apakah semua kelompok itu berguna bagi kita, sejauh mana menyangkut tingkah laku moral. Namun sebelum membahas masalah tersebut perlu dikemukakan prinsip umum bahwa bidang kehidupan moral yang sebenarnya dimulai pada saat kehidupan kolektif dimulai atau dengan kata lain menjadi makhluk moral hanya karena kita merupakan makhluk sosial
Fakta menunjukkan baik dulu maupun sekarang, tidak pernah suatu masyarakat manapun menganggap suatu tingkah laku sebagai mempunyai moral, kecuali jika tingkah laku itu diarahkan pada tujuan yang bukan demi kepentingan pribadi pelakunya. Tak diragukan lagi, tindakan moral selalu dianggap pasti akan membuahkan hasil yang berguna bagi kehidupan dan kesadaran dengan mana diharapkan kebahagiaan bisa ditingkatkan dan kesengsaraan bisa dikurangi. Tetapi manfaat dari tindakan moral itu adalah orang-orang yang juga melakukan tindakan moral tersebut. Di manapun juga egoisme selalu dianggap sebagai sifat amoral.
Prinsip dasar ini mempunyai implikasi yang luas, sebab jika kepentingan pribadi tidak mempunyai nilai moral bagi saya, dengan sendirinya juga tidak akan mempunyai nilai moral bagi orang lain. Jika kepentingan pribadi saya sama sekali tidak bernilai sejauh menyangkut tingkah laku moral, apa keistimewaan kepentingan pribadi dari orang lain yang seperti saya ini yang dilihat dari segi manapun tidak lebih tinggi dari kepentingan saya? Akibatnya jika moralitas memang benar-benar ada ia tentu harus mengarahkan manusia ke tujuan yang berada di atas berbagai kepentingan individu. Setelah menegaskan hal ini, tugas kita tinggal menemukan apa saja tujuan-tujuan yang adi individual itu dan apa saja kandungannya. Kita sudah mengemukakan dan kiranya sudah jelas bahwa selain individu hanya ada satu kesatuan psikis, satu makhluk sosial moral yang dapat dipahami secara empiris, terhadap mana keinginan kita dapat dihubungkan yaitu masyarakat. Oleh karena itu hanya masyarakatlah yang dapat menjadi tujuan tingkah laku moral. Tetapi untuk itu konsep masyarakat harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu masyarakat tidak bisa direduksi hanya menjadi kumpulan individu-individu semata. Sebab jika kepentingan pribadi masing-masing orang secara terpisah tidak mempunyai moral, maka penjumlahan semua kepentingan semacam itu betapapun banyaknya tetap tidak akan mempunyai nilai moral. Jika masyarakat harus menyediakan fungsi moral yang tidak mungkin disediakan oleh orang perseorangan karena terkait dengan kepentingan pribadinya maka masyarakat mau tidak mau harus mempunyai suatu ciri tersendiri, sesuatu yang berbeda dari anggota-anggotanya. Dalam menyatukan dirinya dengan masyarakat, setiap orang juga harus mempunyai kepentingan. Jika masyarakat semata-mata hanya merupakan sesuatu yang berbeda dari individu, jika masyarakat begitu berbeda dari kita, sehingga menjadi sesuatu yang asing sama sekali, keterkaitan semacam itu tentu sulit dimengerti, keterikatan seperti itu hanya mungkin bila manusia sampai sekian jauh mau merelakan hakekatnya untuk menjadi sesuatu yang bukan dirinya sendiri, sebab dalam kenyataannya, mengkaitkan diri dengan makhluk lain selalu berarti sampai tingkat tertentu menggabungkan bersamanya, menyatu bersamanya, bahkan siap menggantikan makhluk tersebut apabila keterkaitan sampai pada waktu atau titik yang menuntut pengorbanan.
Bukankah penyangkalan diri semacam itu sangat tidak masuk akal? Mengapa kita harus mengorbankan diri kita sendiri sejauh itu demi kepentingan makhluk yang sama sekali berbeda dari diri kita sendiri? Jika masyarakat jauh berada di atas kita tanpa hubungan organis dengan kita, bagaimana mungkin kita dapat menjadikannya sebagai tujuan tingkah laku kita dengan mengabaikan kepentingan diri kita sendiri? Apakah karena lebih bernilai, lebih kaya dengan berbagai macam unsur, lebih terorganisir atau singkatnya lebih memiliki vitalitas dan realitas dari individu tertentu yang hampir tidak ada artinya dibandingkan dengan “kepribadian” yang begitu luas dan kompleks yang dimiliki masyarakat? Tetapi bagaimana organisasi yang luhur ini bisa mempengaruhi kita bila ia sama sekali tidak menyentuh kita? Jika ia tidak menyentuh kita, mengapa ia menjadi upaya tujuan kita?
Mungkin ada yang berpendapat sebagaimana telah kita kutip bahwa masyarakat perlu bagi individu karena pelayanan yang diberikannya kepada individu. Individu pasti akan menginginkannya karena demi kepentingannya sendiri tetapi dengan demikian berarti kita kembali ke gagasan mengenai kepentingan pribadi, yang bertentangan dengan keyakinan moral sikap maysrakat dalam hal ini kepentingan pribadilah yang dianggap sebagai tujuan par excelence, sedangkan masyarakat hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Namun bila kita ingin konsisten dengan diri kita sendiri dan dengan fakta yang ada bila kita mau memperhatikan prinsip moral dari kesadaran diri sendiri bahwa setiap tindakan semata-mata ditujukan bagi kepentingan pribadi dipandang tidak mempunyai nilai moral, maka kita harus memandang masyarakat sebagai sesuatu yang layak didinginkan dalam dan pada dirinya sendiri dan tidak hanya karena ia berguna bagi individu.
Kesan inipun semu belaka, memang benar individu dan masyarakat merupakan dua makhluk yang pada hakekatnya berbeda, namun diantaranya keduanya sama sekali tidak terdapat semacam antagonisme yang sulit diungkapkan juga sama sekali tidak benar bahwa individu hanya dapat mengindentifikasikan dirinya dengan masyarakat dengan resiko harus bersedia menyangkal hakekat dirinya sendiri entah seluruhnya atau sebagian saja. Jika batas-batas tersebut dilanggar, bila kaidah-kaidah moral tidak mempunyai suatu otoritas yang mampu memaksakan sampai tingkat tertentu suatu pengaruh keteraturan atas tingkah laku kita, masyarakat pasti akan dicengkeram keputusan yang tercermin dalam meningkatnya angka bunuh diri. Demikian pula jika masyarakat kehilangan apa yang seharusnya ia miliki, yakni kemampuan untuk membina identifikasi keinginan individu dengan masyarakat itu sendiri, jika individu melepaskan diri dari tujuan-tujuan kolektif demi mengejar kepentingannya sendiri, kita akan melihat akibat dan gejala yang serupa dan angka bunuh diripun akan meningkat. Manusia akan semakin terpisah dari kolektivitas, yakni bila ia semakin terpusat pada dirinya sendiri. Dalam kelompok orang-orang yang belum berkeluarga, angka bunuh diri tiga kali lebih tinggi daripada kalangan orang-orang yang berkeluarga, karena mungkin bagi mereka para remaja, tidak berpikir panjang, apakah perbuatan ini bai di masa depan atau tidak, yang penting mereka merasa puas dengan apa yang dilakukannya.
Di masa sekarang ini banyak sekali anak yang tidak bermoral. Banyak sekali fakta-fakta yang membuktikannya. Contohnya apabila mereka pacaran, terus mereka putus, mungkin di salah satu mereka ada yang sakit hati melakukan tindakan yang tidak bermoral, bunuh diri misalnya. Mereka tidak memikirkan bagaimana dengan masa depan mereka. Mereka juga tidak memikirkan bagaimana resahnya orangtua mereka. Bagaimana susahnya orang tua mereka. Mereka tidak memikirkan betapa susahnya menghidupi mereka, sehingga nyawapun bisa ditaruhkan, tapi apa balasan mereka terhadap orang tua mereka? Mereka malah melakukan tindakan yang bejat yang sangat merugikan mereka. Dan juga dalam keluarga tanpa anak dua kali lebih tinggi dari pada dalam keluarga dengan anak. Mengapa? Mungkin mereka hanyaberpikir apakah mereka hidup hanya dengan suami istri saja, tanpa dikaruniai anak? Anak adalah semangat bagi keluarganya. Jadi tanpa anak mereka serasa hidup sia-sia saja tanpa bersemangat.
Di dalam agama, orang yang tidak beragama angka bunuh dirinya lebih tinggi dibanding orang yang beragama. Mengapa? Karena mereka yang beragama tahu bagaimana hukumnya bunuh diri dan balasannya sedangkan mereka yang tidak beragama? Tidak tahu apa-apa tentang apa makna dari bunuh diri itu sendiri. Mereka yang tidak beragama seperti orang egois. Dan seharusnya seorang egois adalah orang yang sangat pandai dan lebih paham akan arti kebahagiaan daripada orang lain. Akan tetapi kenyataannya justru sebaliknya, ia sangat tidak seimbang dan tidak ada yang dapat mengubahnya “Orang akan menimpakan segala kekurangan pada dirinya sendiri jika ia hanya memperhatikan dirinya sendiri.” (Emile Durkheim, 1990: 50). Bagaimana hal itu mungkin? Sebab manusia pada dasarnya baik dalam diri kita, serta segala bentuk tingkah laku kita yang luhur.
Jadi, haruskah kita mengakui adanya antagonisme antara individu dan masyarakat sebagaimana diyakini oleh sekian banyak ahli, justru sebaliknya di dalam diri kita terdapat sekian banyak keadaan, sesuatu yang lain dari diri kita sendiri, yaitu masyarakat yang terungkap dalam dan melalui diri kita. Keadaan-keadaan tersebut membentuk masyarakat itu sendiri, hidup dan bertindak dalam diri kita. Memang benar bahwa masyarakat melampaui dan lebih besar daripada kita. Karena ia secara tak terbatas jauh lebih besar dari bentuk individual kita. Namun sekaligus juga meresapi setiap bagian dari diri kita. Masyarakat berada di luar diri kita dan melingkupi diri kita tetapi sekaligus ada di dalam diri kita dan merupakan salah satu aspek dari sifat kita. Kita terpadu di dalamnya sebagaimana organisme fisik kita memperoleh makanan dari luar dirinya, demikian pula organisme mental kita memperoleh makanan berupa berbagai ide, perasaan dan kebiasaan yang berasal dari masyarakat.
Masyarakatlah yang kita anggap sebagai bagian terpenting dari diri kita. Dari sudut pandang seperti ini orang dengan mudah dapat melihat bagaimana masyarakat bisa menjadi sesuatu yang membuat kita terikat.
Berdasarkan kenyataannya kita tidak dapat melepaskan dii dari masyarakat tanpa memisahkan diri kita dari diri kita sendiri. Antara masyarakat dan kita mempunyai ikatan yang sangat erat dan sangat erat dan sangat kuat, karena masyarakat adalah bagian dari keberadaan kita, karena dalam arti tertentu masyarakat membentuk apa yang paling baik dalam diri kita. Dengan demikian dapat dita pahami betapa tidak menentunya hidup orang yang hanya terpusat pada dirinya sendiri, kehidupan seorang egois. “Sia-sialah memutuskan atau mencoba memutuskan ikatan yang mempersatukan kita dengan sesama.” (Emile Durkheim, 1990: 52).
Hal itu sungguh mustahil, mau tidak mau kita harus tergantung pada lingkungan di sekeliling kita. Lingkungan itu meliputi diri kita, menyatu dengan kita. Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa seorang egois yang mutlak adalah suatu abstraksi yang tidak mungkin ada dalam kenyataan untuk dapat hidup sebagai egois murni. Kita harus menanggalkan hakekat sosial kita. Hal ini mustahil dilakukan, sama mustahilnya dengan menghindari bayangan kita sendiri. Yang paling dapat kita lakukan hanyalah kurang lebih mendekati batas-batas abstrak. Namun semakin dekat kita dengan batas tersebut, semakin jauh kita dari hakekat kita. Itu berarti hidup kitapun semakin abnormal dan pasti tidak akan mampu bertahan lama.
Kita telah mengatakan sebelumnya bahwa pengertian kepribadian sebagai suatu unsur pokok mengisyaratkan perlunya suatu penguasaan diri yang hanya bisa dicapai di sekolah disiplin moral. Syarat pertama dan yang merupakan keharusan itu belum cukup. Seorang pribadi bukan hanya makhluk yang menerapkan disiplin pada dirinya sendiri. Ia juga adalah sistem ide-ide, perasaan, kebiasaan dan kecenderungan. Ia merupakan suatu kesadaran yang mempunyai isi dan semakin kaya isi tersebut, semakin bertobat pula pribadinya. Karena alasan itu bukanlah seorang yang beradab harkatnya dianggap lebih tinggi ketimbang orang primitif, orang dewasa dinilai lebih daripada anak-anak. Dengan jalan menarik diri kita keluar dari diri kita sendiri dan memasuki lingkungan masyarakat yang merupakan sumber kehidupan kita, moralitas menempatkan diri kita tepat pada posisi agar dapat mengembangkan kepribadiannya kita.
Oleh karena itu, masyarakat berada di atas individu mempunyai hakekat yang berbeda dari individu. Dengan demikian masyarakat memenuhi persyaratan pertama untuk dapat menjadi tujuan tingkah laku moral, tetapi di pihak lain, masyarakat menyatu dengan individu. Antara keduanya tidak ada jurang pemisah. Ia menancapkan akarnya yag kuat dan dalam pada diri kita, baian terbaik dalam diri kita hanya sekedar suatu serpihan kecil dari kolektivitas. Itulah sebabnya mengapa kita dapat menyerahkan diri seutuhnya kepadanya, dan bahkan dapat lebih mementingkan masyarakat dari pada diri kita sendiri.
Dengan pemahaman seperti itu orang tidak perlu lagi mempertanyakan apakah cita-cita nasional harus dikorbankan demi cita-cita umat manusia. Karena dua cita-cita tersebut menyatu, itu tidak berarti bahwa cita-cita yang khas nasional mereka harus lenyap. Sebab masing-masing dapat mempunyai caranya sendiri dalam mengartikan cita-cita tersebut sesuai dengan ciri, watak dan sejarahnya sendiri. Para ilmuwan tentu mempnyai individualitas intelektual dan moralnya sendiri-sendiri. Masing-masing mereka memandang dunia atau lebih tepat bagian tertentu dari perspektifnya sendiri. Akan tetapi berbagai macam sudut pandangan itu sama sekali tidak saling meniadakan, melainkan justru saling mengoreksi dan saling melengkapi. Demikian pula masing-masing negara mempunyai sudut pandangan tertentu terhadap umat manusia, berbagai macam mempunyai sudut pandangan tertentu terhadap umat manusia. Berbagai cara mengartikan tujuan yang sama tadi saling menolak, melainkan justru tarik menarik karena saling berbeda, sebab semuanya hanya merupakan perspektif yang berbeda dari realitas yang sama. Suatu realitas kompleks yang tak terhingga yang hanya diungkapkan melalui perkiraan yang selalu berganti-ganti dan tidak ada hentinya. Jadi akibat dari sesuatu yang berada di atas atau diluar masyarakat tertentu sesuatu yang mengarahkan mereka kepada cita-cita yang sama, yang menyediakan orientasi yag sama untuk tingkah laku moral mereka sama sekali tidak berarti bahwa individualitas-individualitas yang saling berbeda itu harus lenyap atau saling menyerap.
Jadi kita telah menentukan secara tegas unsur kedua dari moralitas. Pada dasarnya unsur tersebut adalah ketertarikan kepada kelomok sosial. Jika orang ingin menjadi makhluk moral, manusia harus mengabdikan dirinya kepada sesuatu yang bukan dirinya sendiri. Ia harus menyatu dengan dengan masyarakat, betapapun rendahnya tingkat rasa persatuan tersebut. Itulah sebabnya mengapa harus pertama pendidikan moral adalah menyatukan anak dengan masyarakat yang paling dekat dengannya yaitu keluarga. Secara umum dapat dikatakan bahwa moralitas mulai pada saat kehidupan sosial dimulai, namun bagaimanapun ada berbagai tingkat  moralitas karena tidak semua masyarakat moral mempunyai nilai moral yang sama. Dari antara semua tersebut ada satu yang paling menentukan, yaitu masyarakat politik atau negara.





DAFTAR PUSTAKA

Ardi Widodo, Dr. Sembodo. 2003. Pendidikan Barat dan Islam; Jakarta; Nimas Multim,.
Durkheim, Emile, 1990 Pendidikan Moral; PT Gelora Aksara Pratama.
Gagasan Para Pakar Pendidikan, 2003 Mengurai Benang Kusut Pendidikan; Jakarta Timur; Pustaka Pelajar Offset.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar